Titik yang Kita Cari
"kita ingin mencapai satu titik tapi jalan lurus gak nyampe2 karena merasa cuma di situ tempatnya, coba belok kanan atao kiri siapa tahu justru disana nemuin apa yg kita cari2"
Dengan bahasa bebas, begitulah kira-kira gue menganalogikan bahwa sesuatu yang kita ingin kita dapatkan belum tentu ada di jalan yang kita sedang (kekeuh) jalani sekarang ini.
Wahahaha, tiba-tiba gue merasa bijak bisa mengeluarkan kata-kata tersebut untuk seseorang. Dan lawan bicara gue itu lebih tua, makin merasa (sok) bijak.
Barusan saja, di tengah-tengah menyelesaikan pekerjaan (seperti biasa) gue menyempatkan diri ngobrol di Yahoo Messenger dengan beberapa teman. Dan atas pembicaraan kami *jiaahhh berusaha menggunakan kata kami dan kita di tempat yang benar*, akhirnya keluarlah kalimat "bijaksana" di atas.
Memang benar, terkadang kita memaksakan diri untuk meneruskan lajur dimana kita sedang berjalan untuk mendapatkan apa yang kita "cari". Padahal:
1. Apakah kita benar-benar sudah tahu apa yang kita "cari"? dan
2. Apakah dengan jalan yang kita pilih, pasti akan berujung pada apa yang kita "cari"?
Kita seringkali "bersih keras", bahwa kita sudah berusaha maksimal untuk mendapatkan apa yang kita "cari" tersebut. Padahal, mungkin saja kita hanya "keras kepala" dengan "ambisi" kita tanpa mengkoneksikannya dengan fakta-fakta yang ada dan persentasi peluang di hadapan kita. Sehingga usaha (ataupun penantian) kita bisa jadi adalah sesuatu yang tak berujung.
Atau mungkin, kita bisa kecewa ketika "titik" yang kita tuju itu bukanlah yang kita harapkan, atau tidak memuaskan "hasrat" kita. Mungkin, karena kita tidak pernah mau mencoba "mengintip" gang-gang yang kita lalui dalam perjalanan kita. Padahal, siapa tahu ketika kita mencoba belok atau singgah, justru kita akan menemukan jalan menarik dan "buah manis yang sesungguhnya kita idam-idamkan".
Mungkin sebagian orang berfikir, sikap berbelok adalah sikap seseorang yang tidak konsisten. Gue rasa, gak selamanya begitu. Terkadang kita saja yang terlalu kaku menghadapi realita kehidupan.
Faktanya, adalah ketika banyak Sarjana Hukum yang justru sukses jadi pengusaha atau gak sedikit Sarjana Ekonomi yang justru menikmati kehidupan sebagai artis. Kalau mereka tidak pernah mencoba berbelok dari "jalan lurusnya" (latar belakang pendidikan mereka), mungkin mereka tidak menemukan apa yang mereka nikmati saat ini.
Contohnya, seorang Sarjana muda yang sangat gencar ikut tes CPNS dengan harapan salah satu Departemen akan menjadi tempatnya bernaung untuk masa depan, dan ternyata ia gagal, lalu coba lagi, lalu gagal lagi. Mau sampai kapan? Usahanya mungkin sudah maksimal, kegigihannya mungkin layak dapat dua jempol. Tapi kalau saja dia mau menilik ada perusahaan asing yang begitu siap menampung "kepandaiaannya", mungkin dia tak akan menjadi "pengangguran" seperti sekarang.
Apa yang gue bagi ini, bukan ditujukan khusus chatter, si lawan bicara gue di YM tadi. Gue ingin berbagi dengan siapa saja, dan agar kita (termasuk gue berarti) berkaca lagi, karena seringkali kita menjadi bagian dari apa yang menjadi "pembuka" dalam tulisan ini.
Dengan bahasa bebas, begitulah kira-kira gue menganalogikan bahwa sesuatu yang kita ingin kita dapatkan belum tentu ada di jalan yang kita sedang (kekeuh) jalani sekarang ini.
Wahahaha, tiba-tiba gue merasa bijak bisa mengeluarkan kata-kata tersebut untuk seseorang. Dan lawan bicara gue itu lebih tua, makin merasa (sok) bijak.
Barusan saja, di tengah-tengah menyelesaikan pekerjaan (seperti biasa) gue menyempatkan diri ngobrol di Yahoo Messenger dengan beberapa teman. Dan atas pembicaraan kami *jiaahhh berusaha menggunakan kata kami dan kita di tempat yang benar*, akhirnya keluarlah kalimat "bijaksana" di atas.
Memang benar, terkadang kita memaksakan diri untuk meneruskan lajur dimana kita sedang berjalan untuk mendapatkan apa yang kita "cari". Padahal:
1. Apakah kita benar-benar sudah tahu apa yang kita "cari"? dan
2. Apakah dengan jalan yang kita pilih, pasti akan berujung pada apa yang kita "cari"?
Kita seringkali "bersih keras", bahwa kita sudah berusaha maksimal untuk mendapatkan apa yang kita "cari" tersebut. Padahal, mungkin saja kita hanya "keras kepala" dengan "ambisi" kita tanpa mengkoneksikannya dengan fakta-fakta yang ada dan persentasi peluang di hadapan kita. Sehingga usaha (ataupun penantian) kita bisa jadi adalah sesuatu yang tak berujung.
Atau mungkin, kita bisa kecewa ketika "titik" yang kita tuju itu bukanlah yang kita harapkan, atau tidak memuaskan "hasrat" kita. Mungkin, karena kita tidak pernah mau mencoba "mengintip" gang-gang yang kita lalui dalam perjalanan kita. Padahal, siapa tahu ketika kita mencoba belok atau singgah, justru kita akan menemukan jalan menarik dan "buah manis yang sesungguhnya kita idam-idamkan".
Mungkin sebagian orang berfikir, sikap berbelok adalah sikap seseorang yang tidak konsisten. Gue rasa, gak selamanya begitu. Terkadang kita saja yang terlalu kaku menghadapi realita kehidupan.
Faktanya, adalah ketika banyak Sarjana Hukum yang justru sukses jadi pengusaha atau gak sedikit Sarjana Ekonomi yang justru menikmati kehidupan sebagai artis. Kalau mereka tidak pernah mencoba berbelok dari "jalan lurusnya" (latar belakang pendidikan mereka), mungkin mereka tidak menemukan apa yang mereka nikmati saat ini.
Contohnya, seorang Sarjana muda yang sangat gencar ikut tes CPNS dengan harapan salah satu Departemen akan menjadi tempatnya bernaung untuk masa depan, dan ternyata ia gagal, lalu coba lagi, lalu gagal lagi. Mau sampai kapan? Usahanya mungkin sudah maksimal, kegigihannya mungkin layak dapat dua jempol. Tapi kalau saja dia mau menilik ada perusahaan asing yang begitu siap menampung "kepandaiaannya", mungkin dia tak akan menjadi "pengangguran" seperti sekarang.
Apa yang gue bagi ini, bukan ditujukan khusus chatter, si lawan bicara gue di YM tadi. Gue ingin berbagi dengan siapa saja, dan agar kita (termasuk gue berarti) berkaca lagi, karena seringkali kita menjadi bagian dari apa yang menjadi "pembuka" dalam tulisan ini.
Comments
Post a Comment