Pengalaman Pertama, Senayan dan Nasionalisme
Melihat dari judul tulisan ini yang cukup berat pasti adalah kata terakhir, yakni "Nasionalisme", maka yang berat itu diletakan di akhir tulisan. Bukankah sejak lahir kita mengawali mempelajari segala sesuatu dari yang lebih ringan. Sebut saja merangkak kemudian tertatih, lalu berjalan dan mampulah akhirnya berlari.
Akhirnya gue pun sampai tempat dimaksud, Tyo sedang memindahkan parkir mobil dan gue bertemu Nana. Dikenalkanlah dengan om ini, om itu yang entahlah gak bisa gue ingat namanya. Tyo pun muncul dengan temannya, mas Agus, disusul Adit.
Gue pun ganti baju di toilet PSSI yang tiba-tiba kotor banget. Lalu gue, Nana, Adit, Tyo, dan mas Agus pun berjalan menuju pintu masuk kami. Karena sinyal yang diblok, si Tyo dan Yerni pacarnya yang masih on the way susah kontak. Ya akhirnya kami kumpul, plus beberapa teman lain. Tapi kesal gara-gara si 'RI1' datang, terpaksalah belum bisa masuk. Dan gue pun sedih melewatkan Timnas masuk lapangan, terlebih ketika "Indonesia Raya" berkumandang dan gue harus sabar menunggu segala proses protokoler SBY dan rombongan masuk.
45 menit pertama berakhir, lanjut Babak berikutnya permainan Timnas bisa dikatakan sangat tidak maksimal. Setidaknya inilah penilaian dari gue yang gak ngerti-ngerti amat soal bola.
Dan ketegangan setelah angka 2-0 semakin terasa. Waktu terus berjalan seakan tak peduli harapan besar pendukung Timnas, para pemain Timnas satu persatu berjatuhan di lapangan. Entah kenapa dan "arrrrrrghhhh...", gue berteriak kesal dalam batin.
Semangat besar penonton yang memang tentunya mayoritas pendukung Timnas, tapi gak kompak-kompak amat. Hanya di satu sudut saja (yang entah sudut mana) terdengar suara nyanyian penyemangat. Mana... mana? Mana kumandang lagu "Garuda di Dadaku" seperti yang gue tonton di televisi. Sebenarnya gue ingin melantunkan lagu itu dengan harapan diikuti orang-orang di balkon tempat gue berada, tapi yang ada keluh tertahan. Bersamaan itu, kembang api meletup di beberapa bagian. Sudah ada peringatan, namun semakin gencar dan meriah sampai gue pun gak bisa membedakan kembang api atau petasan kah yang sumbunya dikobarkan itu.
Ternyata ini adalah aksi kebrutalan sejumlah pendukung yang kecewa. Mungkin tidak terlihat atau diperlihatkan di layar televisi dalam siaran langsung kejadian yang sebenarnya. Para pemain cadangan Bahrain yang sedang melakukan pemanasan di sebelah kanan gawang (dari arah gue berada) berlari-lari ke pinggir lapangan. ternyata merekalah yang menjadi sasaran, disusul botol-botol minuman kemas yang dilempar. Dalam batin gue, "Gila, atlit lempar lembing semua kali nih di atas."
Keadaan semakin tegang, permainan dihentikan. Lemparan botol-botol semakin banyak dan dari berbagai arah. Semua lemparan itu datang dari tribun atas. Thank God, bukan dari arah balkon gue dan untungnya tertutup atap juga. Semua kamera mengarah ke arah lemparan-lemparan (gue gak tahu apakah ini masuk berita di televisi atau tidak). Penonton yang masih beritikad baik berusaha menghentikan, namun tak bisa. Petasan dan kembang api pun terus berkobaran sampai stoknya habis, dan seluruh pemain, pelatih dan kronconya Bahrain berlarian menyelamatkan diri masuk ke dalam. Where was SBY, and what he did? Sepertinya dia sudah lebih dulu menyelamatkan diri, meninggalkan permainan bersama beberapa penonton yang mulai keluar. Oh please! Are you really our Mr. President? I respect you, but .... *speechless* *long sigh*. Tapi tidak buat gue, gue TETAP BERTAHAN.
Perwakilan PSSI dan perwakilan FIFA lengkap dengan jas dan dasinya pun ke luar, ke pinggir lapangan. MC yang menenangkan keadaan pun tidak digubris. Wajah-wajah lelah, kecewa dan kebingungan (entah berapa ribu hal bergejolak di batin) tampak dari siratan wajah-wajah pemain *ya sebenarnya gak jelas-jelas amat, kan jauh dari gue*. Mereka mulai gontai, duduk di lapangan, ada yang berebah, tertatih dan hanya menunggu arahan untuk tindakan berikutnya.
Kepanikan ada di wajah gue, kalau gak terlihat kepanikan itu ada di hati gue. Gue ingin bertindak. Tapi, siapa gue? MC dengan pengeras suara saja dianggurin. Karena gue tak punya cukup keberanian untuk berteriak, membuat hentakan semangat baru, menghentikan tingkah brutal, atau mendekati pagar batas dengan lapangan, gue cuma berharap ada seseorang yang bisa bersikap heroik.
Gue berharap satu dari para pemain bertindak, berdiri, bergerak ke pinggir lapangan, merebut pengeras suara dari MC, menenangkan massa (sorry) kampungan yang baru saja bertindak memalukan dan bagai pengecut yang tak terima kekalahan. Gue sampaikan hal ini ke adit, dia bilang kira-kira begini, "Siapa? Kalau Persija yang ribut Bepe *Bampang Pamungkas* mungkin dianggap, tapi kalau bukan?". Gue jawab saja: "Ini tuh pertandingan bawa nama Bangsa, Bepe lah sebagai kapten dalam Timnas patut didengar. Atau kalau perlu ramai-ramai para pemain itu menenangkan fans yang rusuh itu.". Seorang idola itu sangat disanjung penggemarnya, percaya deh sekecil apapun pasti akan ada efeknya, dampaknya. Batin gue rasanya gatal, gemas.
Rasanya (sekali lagi) ingin bernyanyi (dengan harapan diikuti ramai-ramai), lagu apa pun yang menyemangati dan memiliki nilai nasionalisme. "Garuda di Dadaku", "Bagimu Negeri", atau "Indonesia Raya" bahkan. Rasanya juga ingin berlari ke arah pemain dan meminta mereka "Do something!". Dalam batin gue saat itu berteriak ke para pemain Timnas, "Hey please, do something! Do a heroic thing. You're our heroes. Please!!!!", tapi rupanya alam semesta tak menyampaikan pesan dari seorang Lia yang resah itu.
Sudahlah, tak perlu lanjutkan akhirnya. Yang jelas permainan dilanjutkan dan penonton-penonton yang berbesar hati mendukung pertandingan hingga akhir tanpa cetak gol dari Timnas.
Bagi gue, Timnas tetap yang terbaik. Mereka sudah berusaha. Bayangkan, mereka baru satu hari tiba di Jakarta setelah melawan Iran. Jangan pernah menuding atau menyalahkan siapa pun dalam kekalahan Indonesia vs Bahrain 10 hari lalu.
Bambang Pamungkas, akrab disebut Bepe, awalnya hanya tebakan tapi setelah akhirnya kemarin (15/9) gue membuka dan membaca beberapa tulisannya di http://www.bambangpamungkas20.com/ , ternyata betul dia adalah pemain tersenior di Timnas. Such a wise man. Gue suka dengan tulisan-tulisannya. Gue tersentuh dengan rasa dan sikap nasionalisme yang ada pada dirinya. Tampak dalam cerita saat Alfred Riedl mengungkapkan kemungkinan Bepe tak mungkin main dalam pertandingan, juga sikapnya menghadapi berita pernyataan Wim, pelatih baru Timnas yang katanya menyudutkan para pemain. Penuturannya yang bersahaja, kebijaksanaannya memberi jawaban dan masukan, dan tentu saja penuturan bak penulis profesional dalam blognya.
Gue gak tiba-tiba jatuh cinta, gue hanya kagum, bangga, apa yang dia lakukan yeah such what a hero has to do.Gue sangat menganjurkan para pendukung Timnas membaca official web of Bambang Pamungkas tersebut. Tidak ada provokasi di sana, hanya berbagi pengalaman, semangat dan pemupukan rasa kebangsaan. Layak ditiru para penerusnya. Oiya, sejak hari ini resmi menjadi follower-nya di twitter - @bepe20. Gw adalah follower ke 737.204, banyak ya? Gue rasa akhir tahun ini pasti tembus angka 1.000.000, he deserves it.
Gue tidak pernah punya idola pemain bola, yang banyak diidolakan para perempuan, baik Irfan Bachdim yang pada permulaan muncul langsung menggelitik mata gue, bahkan pemain-pemain bule sekelas David Beckham.
Seperti kata Bepe dalam halaman pembuka buku mayanya, "If we stop trying that means we are no better than a coward...". Maka jangan pernah berhenti mencoba, mencoba tetap semangat dan berharap. Kalah dengan usaha terbaik adalah suatu kebanggaan, menang dengan jalan tertatih lebih baik daripada berhenti di jalan.
Gue tutup cerita ini dengan saran dari Bepe dalam profilnya, "Bagi pemain-pemain junior "JANGAN PERNAH BERHENTI UNTUK BERMIMPI" karena mungkin suatu saat nanti, mimpi kalian akan menjadi kenyataan. Keyakinan, kerja keras dan di sertai dengan doa akan membantu kalian untuk mewujudkan mimpi tersebut. Mungkin saat ini, kami para senior yg membela nama Bangsa dan Negara, akan tetapi bisa jadi suatu saat nanti kalian yg akan menggantikan kami dalam berjuang mengenakan seragam Merah Putih. Karena Tim nasional itu adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Siapapun mempunyai hak dan kewajiban untuk membela negaranya, tentunya sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu persiapkan diri kalian sebaik mungkin..."".
Singkat kata sehari sebelum pertandingan Tim sepakbola tanah air (Timnas) melawan Bahrain, gue menghubungi seorang teman. Karena Ibu sang teman adalah salah satu perempuan di Kepengurusan PSSI 2011-2015, maka keinginan gue tidak sulit terpenuhi.
6 September 2011 pagi, gue pastikan mendapat tiket untuk gue dan minta satu tiket lebih untuk teman gue (Adit). Gue sudah janji kalau memang bisa akan usahakan kasih tiket, hitung-hitung sebagai hadiah ulang tahunnya sehari kemudian (7/9). Dan kepastian itu datang siangnya, tiket sudah diambil Tyo di PSSI.
FYI, ini pertama kalinya gue nonton langsung Timnas bertanding di Senayan. That's why I was so excited.
Kebetulan hari itu gue ada tugas keluar kantor. Meeting dengan klien di Mall Puri Indah, di kawasan Jakarta Barat. Dan di mall tersebut bukan hanya meeting, sempat blow rambut di salon dan makan siang dengan pilihan restoran Jepang. I like it. Inilah enaknya punya klien perempuan pengertian (tak usah didefinisikan).
Menjelang sore sempat hectic, masalah tiket yang ternyata kurang satu dan keponakan si klien yang gak bisa dihubungi karena sempat berpisah di mall. Hari-hari normal Jakarta, Puri di sore hari sangatlah macet. Sekitar jam empat sore akhirnya gue pun bisa 'lari' menuju senayan. Pilihan gak salah, lewat tol lebih lancar dibanding jalan pinggiran luar tol yang sempit. Untungnya pula Jakarta masih lengang, arus balik mudik belum berakhir rupanya. Amazing, gak sampai 20 menit gue sudah ada di depan salah satu pintu masuk Senayan. Taksi berhenti di gerbang dekat TVRI, dan karena si supir taksi gak mau masuk, akhirnya gue mesti jalan kaki dengan sepatu hak tinggi sampai depan sekretariat PSSI (tempat janjian bertemu Tyo). Para pendukung Timnas dengan pakaian berbau merah, polo shirt berlambang Garuda di dada, oblong merah bersablonkan INDONESIA, syal 'berbau' bola memenuhi senayan , sedangkan gue dengan pakaian yang sebenarnya sudah cukup santai kemeja lengan pendek, celana, rompi, high heels, dan kaca mata hitam berjalan di antara "gerombolan merah" tersebut. Dan, hei! Rambut habis blow ini sebentar saja mulai tersapu keringat *hiks*.
Adit, Lia, Tyo, Nana |
Karena kondisi baju gue yang putih tipis sudah berlumur keringat, dan kostum yang gak salah sih tapi kurang cocok untuk nonton bola akhirnya gue pun beli polo shirt merah seperti yang banyak orang-orang pakai, si Adit beli syal. Dengan perdebatan yang alot, dimana si penjual (menurut gue) menjual kualitas bagus dan tersisa tinggal satu akhirnya dengan kesepakatan harga bersama, Bapak Ibu yang akhirnya dengan gue dan Adit berinteraksi dalam Bahasa Sunda menyerahkan apa yang gue incar.
Me with a piece of VVIP invitation |
Kami pun masuk, Yerni, Tyo, Nana, masuk kelas VVIP, dan bahkan satu dapat undangan Royal Box yang sama dengan kelasnya SBY, sedangkan gue, Adit dan sisanya masuk kelas VIP. Gue sama Adit duduk di dekat tempat orang-orang media. Di antara meja dengan meja yang sebenarnya lintas orang jalan, tapi di situlah tempat dapat sudut pandang yang paling jelas.
Dengan telanjang kaki, duduk santai, dan sesekali berdiri ketika permainan mulai tegang. Gue menikmati permainan yang entahlah gue jadi banyak doa dalam hati. Sampai si Adit sempat nyeletuk,"Kok lo cemas banget sih, Li?". Dalam hati iyalah, gue cemas karena udah ketinggalan angka dari Bahrain padahal kan mau balas dendam kekalahan dari pertandingan sebelumnya melawan Iran. Oiya, saking sudah bingung nonton sambil doa dalam hati gue baca "Doa Bapa Kami". Ngaco? Ya biarinlah orang bilang apa (kalau baca tulisan ini), Tuhan pasti tahu kok permintaan gue pastinya apa.
45 menit pertama berakhir, lanjut Babak berikutnya permainan Timnas bisa dikatakan sangat tidak maksimal. Setidaknya inilah penilaian dari gue yang gak ngerti-ngerti amat soal bola.
Dan ketegangan setelah angka 2-0 semakin terasa. Waktu terus berjalan seakan tak peduli harapan besar pendukung Timnas, para pemain Timnas satu persatu berjatuhan di lapangan. Entah kenapa dan "arrrrrrghhhh...", gue berteriak kesal dalam batin.
Semangat besar penonton yang memang tentunya mayoritas pendukung Timnas, tapi gak kompak-kompak amat. Hanya di satu sudut saja (yang entah sudut mana) terdengar suara nyanyian penyemangat. Mana... mana? Mana kumandang lagu "Garuda di Dadaku" seperti yang gue tonton di televisi. Sebenarnya gue ingin melantunkan lagu itu dengan harapan diikuti orang-orang di balkon tempat gue berada, tapi yang ada keluh tertahan. Bersamaan itu, kembang api meletup di beberapa bagian. Sudah ada peringatan, namun semakin gencar dan meriah sampai gue pun gak bisa membedakan kembang api atau petasan kah yang sumbunya dikobarkan itu.
Ternyata ini adalah aksi kebrutalan sejumlah pendukung yang kecewa. Mungkin tidak terlihat atau diperlihatkan di layar televisi dalam siaran langsung kejadian yang sebenarnya. Para pemain cadangan Bahrain yang sedang melakukan pemanasan di sebelah kanan gawang (dari arah gue berada) berlari-lari ke pinggir lapangan. ternyata merekalah yang menjadi sasaran, disusul botol-botol minuman kemas yang dilempar. Dalam batin gue, "Gila, atlit lempar lembing semua kali nih di atas."
Keadaan semakin tegang, permainan dihentikan. Lemparan botol-botol semakin banyak dan dari berbagai arah. Semua lemparan itu datang dari tribun atas. Thank God, bukan dari arah balkon gue dan untungnya tertutup atap juga. Semua kamera mengarah ke arah lemparan-lemparan (gue gak tahu apakah ini masuk berita di televisi atau tidak). Penonton yang masih beritikad baik berusaha menghentikan, namun tak bisa. Petasan dan kembang api pun terus berkobaran sampai stoknya habis, dan seluruh pemain, pelatih dan kronconya Bahrain berlarian menyelamatkan diri masuk ke dalam. Where was SBY, and what he did? Sepertinya dia sudah lebih dulu menyelamatkan diri, meninggalkan permainan bersama beberapa penonton yang mulai keluar. Oh please! Are you really our Mr. President? I respect you, but .... *speechless* *long sigh*. Tapi tidak buat gue, gue TETAP BERTAHAN.
Perwakilan PSSI dan perwakilan FIFA lengkap dengan jas dan dasinya pun ke luar, ke pinggir lapangan. MC yang menenangkan keadaan pun tidak digubris. Wajah-wajah lelah, kecewa dan kebingungan (entah berapa ribu hal bergejolak di batin) tampak dari siratan wajah-wajah pemain *ya sebenarnya gak jelas-jelas amat, kan jauh dari gue*. Mereka mulai gontai, duduk di lapangan, ada yang berebah, tertatih dan hanya menunggu arahan untuk tindakan berikutnya.
Kepanikan ada di wajah gue, kalau gak terlihat kepanikan itu ada di hati gue. Gue ingin bertindak. Tapi, siapa gue? MC dengan pengeras suara saja dianggurin. Karena gue tak punya cukup keberanian untuk berteriak, membuat hentakan semangat baru, menghentikan tingkah brutal, atau mendekati pagar batas dengan lapangan, gue cuma berharap ada seseorang yang bisa bersikap heroik.
Gue berharap satu dari para pemain bertindak, berdiri, bergerak ke pinggir lapangan, merebut pengeras suara dari MC, menenangkan massa (sorry) kampungan yang baru saja bertindak memalukan dan bagai pengecut yang tak terima kekalahan. Gue sampaikan hal ini ke adit, dia bilang kira-kira begini, "Siapa? Kalau Persija yang ribut Bepe *Bampang Pamungkas* mungkin dianggap, tapi kalau bukan?". Gue jawab saja: "Ini tuh pertandingan bawa nama Bangsa, Bepe lah sebagai kapten dalam Timnas patut didengar. Atau kalau perlu ramai-ramai para pemain itu menenangkan fans yang rusuh itu.". Seorang idola itu sangat disanjung penggemarnya, percaya deh sekecil apapun pasti akan ada efeknya, dampaknya. Batin gue rasanya gatal, gemas.
Rasanya (sekali lagi) ingin bernyanyi (dengan harapan diikuti ramai-ramai), lagu apa pun yang menyemangati dan memiliki nilai nasionalisme. "Garuda di Dadaku", "Bagimu Negeri", atau "Indonesia Raya" bahkan. Rasanya juga ingin berlari ke arah pemain dan meminta mereka "Do something!". Dalam batin gue saat itu berteriak ke para pemain Timnas, "Hey please, do something! Do a heroic thing. You're our heroes. Please!!!!", tapi rupanya alam semesta tak menyampaikan pesan dari seorang Lia yang resah itu.
Sudahlah, tak perlu lanjutkan akhirnya. Yang jelas permainan dilanjutkan dan penonton-penonton yang berbesar hati mendukung pertandingan hingga akhir tanpa cetak gol dari Timnas.
Bagi gue, Timnas tetap yang terbaik. Mereka sudah berusaha. Bayangkan, mereka baru satu hari tiba di Jakarta setelah melawan Iran. Jangan pernah menuding atau menyalahkan siapa pun dalam kekalahan Indonesia vs Bahrain 10 hari lalu.
Bambang Pamungkas, akrab disebut Bepe, awalnya hanya tebakan tapi setelah akhirnya kemarin (15/9) gue membuka dan membaca beberapa tulisannya di http://www.bambangpamungkas20.com/ , ternyata betul dia adalah pemain tersenior di Timnas. Such a wise man. Gue suka dengan tulisan-tulisannya. Gue tersentuh dengan rasa dan sikap nasionalisme yang ada pada dirinya. Tampak dalam cerita saat Alfred Riedl mengungkapkan kemungkinan Bepe tak mungkin main dalam pertandingan, juga sikapnya menghadapi berita pernyataan Wim, pelatih baru Timnas yang katanya menyudutkan para pemain. Penuturannya yang bersahaja, kebijaksanaannya memberi jawaban dan masukan, dan tentu saja penuturan bak penulis profesional dalam blognya.
bambangpamungkas20.com |
Gue tidak pernah punya idola pemain bola, yang banyak diidolakan para perempuan, baik Irfan Bachdim yang pada permulaan muncul langsung menggelitik mata gue, bahkan pemain-pemain bule sekelas David Beckham.
Seperti kata Bepe dalam halaman pembuka buku mayanya, "If we stop trying that means we are no better than a coward...". Maka jangan pernah berhenti mencoba, mencoba tetap semangat dan berharap. Kalah dengan usaha terbaik adalah suatu kebanggaan, menang dengan jalan tertatih lebih baik daripada berhenti di jalan.
Gue tutup cerita ini dengan saran dari Bepe dalam profilnya, "Bagi pemain-pemain junior "JANGAN PERNAH BERHENTI UNTUK BERMIMPI" karena mungkin suatu saat nanti, mimpi kalian akan menjadi kenyataan. Keyakinan, kerja keras dan di sertai dengan doa akan membantu kalian untuk mewujudkan mimpi tersebut. Mungkin saat ini, kami para senior yg membela nama Bangsa dan Negara, akan tetapi bisa jadi suatu saat nanti kalian yg akan menggantikan kami dalam berjuang mengenakan seragam Merah Putih. Karena Tim nasional itu adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Siapapun mempunyai hak dan kewajiban untuk membela negaranya, tentunya sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu persiapkan diri kalian sebaik mungkin..."".
Comments
Post a Comment