Pilkada Jakarta Menentukan Wajah Ibukota Lima Tahun Ke Depan
Lia dan Jakarta
Keturunan dari ayah-ibu Batak yang menikah di
Kalau
mengutip pengertian di Wikipedia:
"Penduduk
atau warga suatu negara atau
daerah bisa didefinisikan menjadi dua:
- Orang
yang tinggal di daerah tersebut
- Orang
yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain orang
yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ. Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi
memilih tinggal di daerah lain.
Dalam sosiologi, penduduk adalah
kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu.;
saya
sebagai definisi pertama dan definisi sosiologi sudah sejak 2001 sebagai
Penduduk Jakarta, tetapi secara definisi kedua baru sejak 2007 sebagai Penduduk
Jakarta dengan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta Selatan.
Karena
itu, sebagai penduduk resmi Jakarta saya
juga mendapat hak suara untuk Pemilihan Umum Tahun 2009, baik untuk memilih
DPRD DKI Jakarta. Nah, sekarang seingat saya tahun 2012 inilah pertama kalinya
saya akan punya hak suara untuk Pemilhan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Jakarta .
Lia dan
Pemilu
Pemilihan
Umum (Pemilu) di Indonesia berdasar
pada Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Ini sekilas
informasi saja buat yang belum tahu.
Pemilu/Pemilukada
(seringkali disingkat Pilkada), adalah pesta demokrasi yang dari kacamata
pribadi saya (kerap kali) menjadi perang eksistensi dan merebut kekuasaan
bangsa ini untuk memilih baik “wakilnya di legislatif” atau “pemimpinnya” di
tingkat nasional dan daerah. Pada masa saya kecil kepala negara dan kepala daerah belum dipilih langsung.
Selain
sebagai pemilih aktif, saya pun beberapa kali “nyemplung” langsung di
urusan selain sebagai pemilih, di antaranya pengalaman berikut:
2004 : Status
saya saat itu sebagai mahasiswa, dan saya berpartisipasi sebagai Pemantau
Pemilu Centre for Electoral Reform (Cetro). Cetro sendiri berdiri diprakarsai
tokoh-tokoh seperti Emil Salim dan Todung Mulya Lubis.
2009: Saya
pernah bergabung dengan Exponent Media Visi yang memenangkan lelang Pengadaan
Barang dan Jasa KPU: “Rekapitulasi Penghitungan Suara Secara Nasional Calon
Anggota DPRD dan DPD Pemilu Tahun 2009”. Di sana saya
berkesempatan berpartisipasi sebagai penanggung jawab Ruang Sidang Utama
Rekapitulasi yang diselenggarakan di Hotel Borobudur, Jakarta .
Maka, ketika Nama Andi Nurpati menjadi isu hangat politik tahun lalu, bagi saya
nama ini sangat hangat di telinga saat di ruang sidang utama sebagai
satu-satunya perempuan di singgasana pimpinan KPU yang saat itu saya anggap
cukup disegani.
2010 :
Sebagai seorang advokat, saya berkesempatan menerima kuasa hukum dari Pihak
Termohon (KPU Kabupaten) dalam suatu sengketa Pemilukada tingkat II.
2012 :
Saya sebagai sukarelawan (volunteer) Jakarta Bergerak selain dalam
kegiatan-kegiatan sosial organisasi, saya pun berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan menuju balon (bakal calon) DKI 1 dengan jagoan kami, Wanda
Hamidah. Menurut saya, beliau tokoh perempuan, muda dan memiliki kompetensi
untuk melangkah ke singgasana DKI 1. Pada masa ramainya bursa calon, beliau
berupaya menerima setiap undangan talk show atau tukar
pendapat dan menjadi salah satu yang paling “mencerahkan”. Kelebihan lainnya,
sebagai anggota DPRD DKI Jakarta dia pula satu-satunya balon yang punya
pengetahuan dan pemahaman fakta-fakta terkini tentang Jakarta (selain incumbent),
dan terjun langsung ke ’’lapangan’’. Sebenarnya, sudah ada deklarasi dan
pemberian plakat kepada jagoan kami sebagai calon resmi dari
Partai, but it’s politic, 'homo homini lupus'. Kalau
penjelasan ini agak panjang, wajar saja karena mendeskripsikan suara hati.
Tahun
yang sama pula, saya mendapat kesempatan beracara kembali di Mahkamah
Konstitusi dalam sengketa Pemilukada tingkat II, kali ini sebagai kuasa
dari pihak Pemohon.
Lia
tentang Pemilukada DKI Jakarta 2012
Buat
saya Pesta Demokrasi (singkat saja sebagai) Pilkada DKI tahun ini cukup
diwarnai berbagai latar belakang Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, apalagi
dilengkapi dengan Calon Independen, hanya sayang saja belum ada calon perempuan
yang menjadi warna lain melengkapi keanekaan para pasangan calon. Namun, dalam
memilih tak terkecuali pada pilkada ini seringkali kita dihadapkan pada keadaan
dilema. Mengapa dilema ? Bukan karena semuanya baik sehingga sulit memilih
yang terbaik, namun harus memilih yang terbaik diantara calon-calon yang
memiliki catatan hitam setidaknya di memori saya pribadi.
Daripada
dibilang mencemarkan nama baik, dan sebagai etika saja, siapa tahu ada kesalahan
(sebagai anugerah manusia tiada yang sempurna), meskipun setelah dibaca pasti
bisa diketahui pasangan yang dimaksud, maka saya samarkan urutan pasangan calon
DKI 1 dan DKI 2, secara acak berikut ini :
Pasangan
A :
Pasangan calon independen ini merupakan warna baru dalam dunia Pilkada Jakarta. Saya
sendiri sangat berharap calon ini lolos dan maju, juga mendapat nomor urut.
Tapi dukungan saya memang tidak maksimal, saya akui saya tidak
"menyumbang" KTP untuk dukungan. Niat sih ada,
tapi realisasinya yang tak nyata.
Pasangan B : Incumbent yang
tidak disukai masyarakat sosial media khususnya, terlihat dari membawa-bawa si
calon dalam setiap lampias kekesalan macet dan banjir yang katanya hanya
genangan saja. Pasangannya dari kalangan militer berdarah Betawi. Walaupun di
media selalu menampik dirinya mencalonkan/diapit jadi pasangan calon bukan
karena ia merupakan tokoh Betawi, namun tidak bisa ditampik lagi kalau 'si
cagub incumben' memang suka sekali melakukan ‘pendekatan’
dengan ormas (daerah) Betawi.
Pasangan C :
Sebenarnya calon ini sepak terjangnya cukup baik. Tapi, seperti diketahui
publik, dan saya temui dalam artikel-artikel atau berita bahwa alasan si cagub
mencalonkan diri karena ’disuruh pantai‘, meskipun jawaban jujur namun
merupakan jawaban yang bagai ‘’niat enggak niat’’. Meskipun begitu, saya
tidak sependapat dengan pendapat orang bilang dengan jabatan akhirnya sebagai
pemimpin daerah yang hanya seluas beberapa kecamatan di Jakarta tidak mungkin
memimpin kota besar. Buat saya, itu hanya sebuah tantangan, standarnya orang
memang dihadapkan dari suatu yang kecil lalu maju ke suatu yang besar, namanya
"naik kelas".
Pasangan D :
Bapak ini jabatan akhirnya sebagai gubernur provinsi seberang, dan pasangannya
seorang Jenderal Marinir. Calon DKI 1 ini (konon) satu almamater dengan saya,
dan saya baru tahu ketika dapat undangan untuk alumni untuk menghadiri acara
diskusi dan beliau sebagai pembicaranya. Membuat saya semakin tidak
simpati, alumni yang hanya menengok kampus dikala “ada maksud”nya saja. Sebenarnya
bukan pasangan yang jelek-jelek amat sih kecuali slogan “Tiga
Tahun Bisa”nya yang sangat jelek, baik secara harafiah ataupun segi komersial.
Tiga tahun kalau tidak bisa siap berhenti. Dodol! Kalau mau
unjuk gigi dan dinilai berhasil atau tidak tunggu satu periode saja, tidak usah
berjanji tapi buktikan.
Pasangan
E :
Cagubnya sih jelas-jelas bukan pilihan saya. Wajarlah, sebagai seseorang yang
‘dicekoki’ Bhinneka Tunggal Ika dari SD saya butuh pemimpin yang mengakui
pluralisme dan integritas.
Pasangan F :
Kali ini cagubnya yang dari militer, dan maju secara independen. Pasangannya
tokoh pemuda, dan yang termuda di antara pasangan calon lainnya.
Paparan
di atas hanya penilaian pribadi mengenai pasangan calon, tidak bermaksud
mempengaruhi atau mengecilkan siapapun. Kalau soal kampanye yang sudah
meramaikan ibukota saya tidak banyak komentar, setiap calon punya hak untuk
memaparkan program, berjanji atau membual selama tidak melanggar ketentuan yang
berlaku. Hanya saja, sebagai pecinta keindahan dan kebersihan, saya sangat
tidak suka dengan sampah-sampah dari para rombongan kampanye juga
partisipannya, termasuk juga baliho, poster-poster dan umbul-umbul yang
dipasang di sembarang tempat.
Penutup
dari Lia
Manusia
tidak jauh dari menuntut atau menikmati haknya, tapi seringkali hak untuk
memilih disia-siakan oleh penduduk yang punya hak suara namun kemudian memilih
jadi bagian dari golput. Ini saatnya untuk bijak dan menilai,
meskipun mungkin tak ada pasangan calon yang sreg di hati,
sebagai kaum yang dianugerahi akal dan pikiran, cobalah untuk memilih yang
terbaik dari yang ada. Lihat track record-nya, pantau dan
nilai dari acara talk show, debat calon, ataupun orasi dalam
masa kampanye.
Selamat
berpesta demokrasi, Jakarta !
Comments
Post a Comment