Alam Desa Lumban Lobu di Pagi Hari
Ini adalah cerita perjalanan libur lebaran tiga tahun silam. Saya bersama dengan adik saya berlibur berdua saja ke tanah nenek moyang kami di Sumatera Utara.
Dari hampir satu minggu (saja) saya di Tano Batak (Tanah Batak), saya pun sempat menginjakan kaki dan bermalam di kampung leluhur Ayah saya. Nama kampungnya Sirait Holbung, terletak di Desa Lumban Lobu.
Cerita ini mengenai suatu pagi ketika saya dan adik saya ke luar kampung bersama paman kami (abang dari ayah, yang biasa saya panggil dengan sapaan"Bapatua" -- ini sama dengan sapaan: Amangtua, jika pernah dengar).
Pagi itu cuaca tidak terlalu cerah, pagi masih cukup dingin dan Bapatua sudah bangun lebih awal dari kami para boru (sebutan untuk anak perempuan). Singkat cerita, kami diajak ziarah ke makam Kakek-Nenek kami. Sebenarnya buat saya yang suka jalan, lokasinya tidak terlalu jauh, hanya keluar kampung, menyebrang jalan dan naik ke semacam perbukitan rendah. Tapi, Bapatua tidak mau kami berlelah-lelah, kami bertiga menuju lokasi dengan mobil (kecuali saat naik ke lokasi makam).
Tentu saja saya menikmati 'pagi', dengan membuka jendela mobil dan tak berkedip sedikit pun. Keluar dari Kampung Sirait Holbung ke Desa Lumban Lobu yang lebih luas.
Desa Lumban Lobu sendiri secara geografis dan administrasi terletak di Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir. Di pinggir-pinggir jalan raya memang sudah banyak rumah-rumah berkeramik, tapi tidak jarang masih bisa kita temui rumah-rumah kayu, selain itu seperti kebanyakan jalan-jalan di Sumatera Utara kita bisa melihat bangunan Tugu, semacam monumen kecil, di dalamnya adalah tempat menaruh jenazah/tulang belulang leluhur. Jika masuk ke perkampungan, seperti kampung Sirait Holbung masih akan kita temui rumah-rumah adat Batak.
Baiklah, kita fokus pada suasana pagi Lumban Lobu. Saat kami naik ke lokasi makam cukup harus berhati-hati karena licin, tidak ada tangga, dan banyak tumbuhan yang tumbuh di lajur jalan setapak yang pernah dibuat.
Sampai di atas, wow! Mata ini dicuci pemandangan desa, ya desa, yang tak akan pernah ditemui lagi di Jakarta. Bentangan hijau persawahan, berlatar belakang pegunungan/bukit-bukit (jadi ingat pelajaran melukis sewaktu Sekolah Dasar -- sawah dan gunung), kabut di atas bukit, rumah-rumah yang masih jarang (dan sebagian besar beratapkan seng), jalan raya yang sepi. Semakin lengkap, di pagi yang sedikit mendung itu saya menghirup bau embun yang masih menempel di tetumbuhan. Selain menikmati dari atas, kami pun sempat berjalan-jalan di pinggir jalan raya.
Meski hanya berbekal kamera saku dan langit kurang 'ceria', saya bagikan beberapa wajah Lumban Lobu di pagi hari.
Comments
Post a Comment