Jarak yang Tipis
So, tadi gue rencananya mau nemenin nyokap ke rumah Tante gue (istri dari Om yang sudah lama meninggal), eh berubah jadi nemenin ke rumah sakit karena menantu si Tante keguguran dan harus kuret jam sebelas malam ini -gue pulang sebelum tindakan kuret dan dukung doa dari rumah karena nyokap sudah kecapean juga hari ini-. Dalam sekejap, rencana berubah. Tipis.
Tampak sedih mendalam di wajah istri sepupu gue tadi. Wajar saja, menikah tahun 2009 dan baru dikarunia kehamilan lima tahun kemudian. Satu setengah bulan terakhir, sang ibu hamil yang adalah wanita karir beristirahat total, bed rest, ‘gak keluar kamar demi si janin. Enggak peduli juga badannya melebar sampai baju-bajunya sempit karena memaksa banyak asupan makanan untuk nutrisi janin dan ‘gak bisa bergerak banyak. Sampai tadi pagi ada kecurigaan, dibawalah ke rumah sakit, ternyata sang janin sudah tak berdetak.
Saat di IGD, di kamar depan, persis pintunya berhadap-hadapan, seorang yang baru genap menjadi ayah tampak sumringah. Ia keluar kamar saat para medis masih di dalam, dengan mata berbinar dan air muka haru bahagia. Tampak ia melompat kecil dan mengangkat tangan ekspresi "Yes!". Baru kali ini gue melihat secara langsung pancaran kebahagiaan di wajah seorang ayah ketika putra pertamanya lahir.
Jarak pintu ke pintu hanya sekitar dua meter. Di balik pintu seberang sedang menyambut kedatangan. Di balik pintu yang satu sedang mengikhlaskan kepergian.
Jarak bahagia dan sedih itu tipis, seperti pintu tadi. Seperti sang sepupu yang begitu bahagia saat tahu sang istri hamil, tiba-tiba dalam hitungan tiga bulan saja berubah menjadi kemuraman karena kehamilan itu harus berhenti.
Jarak antara hidup dan mati itu tipis. Kehidupan yang kita punya ini, masa 'kan kita sia-siakan?
Tampak sedih mendalam di wajah istri sepupu gue tadi. Wajar saja, menikah tahun 2009 dan baru dikarunia kehamilan lima tahun kemudian. Satu setengah bulan terakhir, sang ibu hamil yang adalah wanita karir beristirahat total, bed rest, ‘gak keluar kamar demi si janin. Enggak peduli juga badannya melebar sampai baju-bajunya sempit karena memaksa banyak asupan makanan untuk nutrisi janin dan ‘gak bisa bergerak banyak. Sampai tadi pagi ada kecurigaan, dibawalah ke rumah sakit, ternyata sang janin sudah tak berdetak.
Saat di IGD, di kamar depan, persis pintunya berhadap-hadapan, seorang yang baru genap menjadi ayah tampak sumringah. Ia keluar kamar saat para medis masih di dalam, dengan mata berbinar dan air muka haru bahagia. Tampak ia melompat kecil dan mengangkat tangan ekspresi "Yes!". Baru kali ini gue melihat secara langsung pancaran kebahagiaan di wajah seorang ayah ketika putra pertamanya lahir.
Jarak pintu ke pintu hanya sekitar dua meter. Di balik pintu seberang sedang menyambut kedatangan. Di balik pintu yang satu sedang mengikhlaskan kepergian.
Jarak bahagia dan sedih itu tipis, seperti pintu tadi. Seperti sang sepupu yang begitu bahagia saat tahu sang istri hamil, tiba-tiba dalam hitungan tiga bulan saja berubah menjadi kemuraman karena kehamilan itu harus berhenti.
Jarak antara hidup dan mati itu tipis. Kehidupan yang kita punya ini, masa 'kan kita sia-siakan?
Comments
Post a Comment