Malam Takbir
Ini menjadi tulisan terakhir di Ramadan's Note.
Bersyukur, malam Takbiran bisa bersama dengan dua orang adik dan Mama. Jakarta ditinggalkan paling tidak separuh dari penduduknya. Tapi, beberapa ruas jalan, apalagi Tebet Utara Dalam yang beberapa hari ini rasanya bikin frustasi orang-orang yang nyetir lewat situ, karena dua malam lalu saja, gue dan nyokap, jalan kaki pun tersendat di sana. Intinya, dekat tempat keramaian, tetap berpotensi macet, bahkan lebih dari biasanya.
Gue pun, karena berjanji ajak kedua adik untuk hang out, memenuhi janji malam itu. Kami naik mikrolet, karena jarak dekat, susah taksi dan biar praktis. Tujuannya, Kokas, kalau gue membahasakannya "tinggal ngesot dari Tebet" saking dekatnya.
Kami berangkat jam delapan malam, kurang dari sepuluh menit sudah merasakan AC lobby mal tersebut. Sayang, banyak gerai yang sudah tutup. Karena tahu kalau restoran dan kafe last order malam ini hanya sampai jam delapan, kami sudah mengamunisi perut di rumah, lagipula ada masakan Mama.
Gerai-gerai tutup, kedua adik gue pun gagal dapat "THR" dari gue buat belanja hehe.. Akhirnya, satu-satunya yang available, adalah Starbucks. Kami membeli minuman dan nongkrong di coffe shop.
Yakin Taxi Queue pasti ramai karena jarang taksi, kami keluar mal untuk tunggu taksi di trotoar. Aih, ada bajaj nongkrong. Biasanya nih, biasanya loh, tukang bajaj suka songong kalau high season begini, apalagi menjelang hari raya.
Gue coba peruntungan, si abang minta Rp. 15.000,-, gue tawar dong. Cewek! Kan, dekat pula. Si abang ternyata 'tidak sombong dan baik hati', mau loh dia Rp. 10.000,-. Dan,,,,,, seperti kebiasaan, gue suka 'gak tega, menawar jadi kebiasaan saja, ujung-ujungnya kalau sama orang baik gue suka 'gak enak hati dan kasihan. Tetap, gue kasih Rp. 15.000,-, harga buka dari si abang tukang bajaj.
Gue berapresiasi, si abang tidak menggunakan kesempatan dalam kesempitan bahkan ia tetap bekerja di malam Takbiran. Ia tidak memilih bersama keluarga atau berfoya-foya, seperti orang-orang di Tebet Utara Dalam yang menghamburkan uang dan memacetkan jalan, setelah kami turun dari bajaj dan baru saja melalui jalanan lengang Casablanca sampai Tebet-Lapangan Ros.
Rupanya, sempat ada kericuhan, tampak keamanan setempat dan satpol berjaga-jaga. Jalan masuk kompleks sudah ditutup. Terpaksa, kami jalan kaki untuk menuju gerbang kompleks yang dibuka. Di antara orang-orang yang membelanjakan uangnya dengan baju atau makan-makan, di sana ada para pelayan yang melayani, ada juga tukang bakso tukang nasgor dan penjual keliling lainnya yang masih mengais rejeki. Bahkan, para penjual keliling terkesan dilupakan karena orang-orang sedang ingin "makan mahal" di akhir Ramadan.
Hai, kawan! Sadarkah kalian? Di antara petasan yang dibakar dan membisingkan, di antara anak-anak yang membelanjakan uang dari orangtuanya, di antara kalian yang berburu sale dan baju lebaran, di antara kalian yang tertawa dengan keluarga besar atau excited mudik, ada mereka yang tetap bekerja untuk melayani kalian, untuk menghasilkan uang, meninggalkan keluarganya, dan tetap bersahaja seperti si abang tukang bajaj yang 'gak belagu.
Bersyukur, malam Takbiran bisa bersama dengan dua orang adik dan Mama. Jakarta ditinggalkan paling tidak separuh dari penduduknya. Tapi, beberapa ruas jalan, apalagi Tebet Utara Dalam yang beberapa hari ini rasanya bikin frustasi orang-orang yang nyetir lewat situ, karena dua malam lalu saja, gue dan nyokap, jalan kaki pun tersendat di sana. Intinya, dekat tempat keramaian, tetap berpotensi macet, bahkan lebih dari biasanya.
Gue pun, karena berjanji ajak kedua adik untuk hang out, memenuhi janji malam itu. Kami naik mikrolet, karena jarak dekat, susah taksi dan biar praktis. Tujuannya, Kokas, kalau gue membahasakannya "tinggal ngesot dari Tebet" saking dekatnya.
Kami berangkat jam delapan malam, kurang dari sepuluh menit sudah merasakan AC lobby mal tersebut. Sayang, banyak gerai yang sudah tutup. Karena tahu kalau restoran dan kafe last order malam ini hanya sampai jam delapan, kami sudah mengamunisi perut di rumah, lagipula ada masakan Mama.
Gerai-gerai tutup, kedua adik gue pun gagal dapat "THR" dari gue buat belanja hehe.. Akhirnya, satu-satunya yang available, adalah Starbucks. Kami membeli minuman dan nongkrong di coffe shop.
Yakin Taxi Queue pasti ramai karena jarang taksi, kami keluar mal untuk tunggu taksi di trotoar. Aih, ada bajaj nongkrong. Biasanya nih, biasanya loh, tukang bajaj suka songong kalau high season begini, apalagi menjelang hari raya.
Gue coba peruntungan, si abang minta Rp. 15.000,-, gue tawar dong. Cewek! Kan, dekat pula. Si abang ternyata 'tidak sombong dan baik hati', mau loh dia Rp. 10.000,-. Dan,,,,,, seperti kebiasaan, gue suka 'gak tega, menawar jadi kebiasaan saja, ujung-ujungnya kalau sama orang baik gue suka 'gak enak hati dan kasihan. Tetap, gue kasih Rp. 15.000,-, harga buka dari si abang tukang bajaj.
Gue berapresiasi, si abang tidak menggunakan kesempatan dalam kesempitan bahkan ia tetap bekerja di malam Takbiran. Ia tidak memilih bersama keluarga atau berfoya-foya, seperti orang-orang di Tebet Utara Dalam yang menghamburkan uang dan memacetkan jalan, setelah kami turun dari bajaj dan baru saja melalui jalanan lengang Casablanca sampai Tebet-Lapangan Ros.
Rupanya, sempat ada kericuhan, tampak keamanan setempat dan satpol berjaga-jaga. Jalan masuk kompleks sudah ditutup. Terpaksa, kami jalan kaki untuk menuju gerbang kompleks yang dibuka. Di antara orang-orang yang membelanjakan uangnya dengan baju atau makan-makan, di sana ada para pelayan yang melayani, ada juga tukang bakso tukang nasgor dan penjual keliling lainnya yang masih mengais rejeki. Bahkan, para penjual keliling terkesan dilupakan karena orang-orang sedang ingin "makan mahal" di akhir Ramadan.
Hai, kawan! Sadarkah kalian? Di antara petasan yang dibakar dan membisingkan, di antara anak-anak yang membelanjakan uang dari orangtuanya, di antara kalian yang berburu sale dan baju lebaran, di antara kalian yang tertawa dengan keluarga besar atau excited mudik, ada mereka yang tetap bekerja untuk melayani kalian, untuk menghasilkan uang, meninggalkan keluarganya, dan tetap bersahaja seperti si abang tukang bajaj yang 'gak belagu.
Comments
Post a Comment