Lebaran
Ketupat pemberian teman Papa, pepes tahu buatan Mama, dan sumbangsih saya di hari lebaran ini adalah makanan penutup alias dessert.
Saya kurang suka lontong dan ketupat, makanan khas lebaran di tanah air. Biasanya, makan ketupat karena terlanjur dibeli (dan dibayar) saat beli sate atau dikirim tetangga pas lebaran (menghindari mubazir).
Yang khas lainnya dari lebaran adalah "mohon maaf lahir dan batin", yang hanya ucapan semata atau terangkai dalam pesan singkat elektronik (sms atau WhatsApp, bahkan parahnya broadcast message). Manusia bisa bikin salah kapan saja, enggak harus menunggu selesai Ramadan berikutnya baru minta maaf lagi. Kalau yang baru berlalu adalah Ramadan terakhir, sementara buat salah bisa kapan saja, lalu kapan saling minta maaf-memaafkan?
Jadi, kalian golongan yang mana? Yang semata formalitas berucap atau mohon maaf dari hati (dengan komitmen agar tidak mengulang kesalahan yang lalu)?
Mukadimah di atas, hanya rangkaian kata-kata yang menari di benak saya ketika melihat foto-foto keluarga yang kumpul dan tampak bahagia setahun sekali juga makanan-makanan yang meriah di berbagai media sosial, serta melihat pesan-pesan singkat elektronik yang saya terima. Padahal, saya hanya ingin turut mengucapkan "SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI" - tanpa embel-embel semoga "bla bla bla".
Menjadi bersih, damai dan penuh kasih, mengaku dosa dan saling memaafkan, tidak perlu menunggu datangnya Lebaran, Natal, Hari Kasih Sayang (Valentine's Day) atau hari raya agama apapun.
Sekali lagi, SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI (bagi umat yang merayakannya).
Saya kurang suka lontong dan ketupat, makanan khas lebaran di tanah air. Biasanya, makan ketupat karena terlanjur dibeli (dan dibayar) saat beli sate atau dikirim tetangga pas lebaran (menghindari mubazir).
Yang khas lainnya dari lebaran adalah "mohon maaf lahir dan batin", yang hanya ucapan semata atau terangkai dalam pesan singkat elektronik (sms atau WhatsApp, bahkan parahnya broadcast message). Manusia bisa bikin salah kapan saja, enggak harus menunggu selesai Ramadan berikutnya baru minta maaf lagi. Kalau yang baru berlalu adalah Ramadan terakhir, sementara buat salah bisa kapan saja, lalu kapan saling minta maaf-memaafkan?
Jadi, kalian golongan yang mana? Yang semata formalitas berucap atau mohon maaf dari hati (dengan komitmen agar tidak mengulang kesalahan yang lalu)?
Mukadimah di atas, hanya rangkaian kata-kata yang menari di benak saya ketika melihat foto-foto keluarga yang kumpul dan tampak bahagia setahun sekali juga makanan-makanan yang meriah di berbagai media sosial, serta melihat pesan-pesan singkat elektronik yang saya terima. Padahal, saya hanya ingin turut mengucapkan "SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI" - tanpa embel-embel semoga "bla bla bla".
Menjadi bersih, damai dan penuh kasih, mengaku dosa dan saling memaafkan, tidak perlu menunggu datangnya Lebaran, Natal, Hari Kasih Sayang (Valentine's Day) atau hari raya agama apapun.
— Lia Sirait
Sekali lagi, SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI (bagi umat yang merayakannya).
Comments
Post a Comment