Hari Yang Aneh

Kesibukan gue membuat gue agak susah meluangkan waktu buat menulis akhir-akhir ini. Untunglah pagi ini ada sedikit waktu senggang jadi mau menulis kisah "Hari yang Aneh" yang pernah gue alami. Semalam salah satu teman gue, Talita ngetwit kejadian yang dialaminya berhadapan dengan perempuan yang jedot-jedotin kepalanya sendiri di Kopaja. Ini mirip-mirip sama salah satu kejadian yang gue alami di "Hari yang Aneh" (selanjutnya disingkat sebagai "HYA") *berasa lagi bikin gugatan*. 


Jadi kisah HYA ini  terjadi awal Desember lalu, setelah gue cek foto hari itu (ini salah satu gunanya dokumentasi) dan sesuaikan dengan tanggalan akhirnya gue yakin tanggal kejadian perkara adalah 2 desember 2012. Nah, hari itu hari Jumat. Gue teringat kalau sahabat gue waktu kelas 3 SMA yang sekarang berprofesi sebagai guru di Bandung lagi berada di Jakarta. Rencananya ingin ketemuan, mumpung malam Sabtu. Besok gak kerja. Oke, ini hanya preambule dari HYA yang mulai terjadi di sore hari.


Kisah pertama adalah ketika gue pulang kantor, sore itu bisa dibilang gak terlalu gelap, ya cukuplah untuk gambaran langit jam lima sore. Tiba-tiba gue ingin pulang naik mikrolet. Jadilah gue pun naik mikrolet (M-01) arah Senen-Melayu dari Salemba. Kebetulan gue pakai flat shoes, jadi santai-santai saja naik mikrolet. Gue lupa persis awalnya, tetapi ketika gue sadari keberadaan seorang perempuan, mungkin usia 30an di depan gue (gue sebut sebagai "Cewek Stres"), saat itu di mikrolet yang gue tumpangi ada enam orang penumpang termasuk gue. Gue duduk di bangku sejajar pintu, sebelah kiri gue ada seorang Bapak sudah cukup tua ("Pak Tua") dan sebelah kanan ada seorang perempuan yang pakai masker (sebut saja "Si Masker", yang entah kenapa suka sekali menatap ke arah belakang mobil). Di hadapan gue ada Cewek Stres yang gue ceritakan tadi duduk di antara seorang Bapak yang duduk di pojokan (sebut saja "Pak Pojok"),  dan Ibu-ibu (yang gue perkirakan dari wajah dan warna kulitnya tampak orienteal (sebut saja"'Ibu Oriental").


Nah seperti gue jabarkan di preambule tadi kalau gue berencana ketemuan dengan seorang sahabat, namanya Lia Yulianti, ada sejarahnya hingga gue sebut sebagai Golia. Di mikrolet gue asik ngobrol via BBM dengan Golia. Si Cewek Stres asik baca buku, gue pikir orang pulang kantor isi waktu di jalan. Dibanding baca buku, gue sendiri lebih sering ngetwit atau buka-buka link pakai BlackBerry (BB) gue yang sudah berusia dua tahun dan keypadnya cacat, hilang satu tombol (q/#). Penampakan si Cewek Stres seperti perempuan kantoran, normal-normal saja dalam pandangan mata, baju dan tas warna serasi begitupula sepatunya, she wore wedges. Cewek Stres memiliki paras seperti orang Indonesia Timur, rambut keriting kulit agak gelap. Tiba-tiba di perjalanan, dia tutup bacaannya lalu menoleh ke gue dan berkata. "Sepertinya saya kenal kamu.". Gue agak terkejut, sambil tersenyum gue jawab pelan, "Oh." Lalu dia menyebut sebuah nama, gue bilang itu bukan gue. Lalu dia tanya apakah gue adalah teman dari seseorang yang dia sebut namanya. Gue pun katakan tidak kenal juga dengan orang yang dimaksud olehnya. Kemudian gue alihkan pandangan kembali ke BB gue meneruskan obrolan dengan Golia. Kemudian dia menawarkan sebuah judul buku, dan kalau saya ingin katanya silakan beli. Sempat terpikir di benak gue, dia tadi pura-pura sok kenal dan ternyata ingin menawarkan buku. Gue cuma senyum saja, dan mengalihkan pandangan. Harusnya dia ngerti dong, kalau gue tidak tertarik. Selanjutnya Cewek Stres ngoceh sendiri, kira-kira yang gue dengar dia menyebut-nyebut sebuah nama tadi yang dia sebut (lupa namanya) dan menyebut-nyebut perihal sms. Si Masker sepertinya pura-pura gak mau tahu, dia buang muka ke arah belakang terus. Yang lain gue gak terlalu perhatikan, sempat lihat si Ibu Oriental memerhatikan percakapan Cewek Stres dengan gue.


Eh, Cewek Stres tiba-tiba bicara ke gue lagi dengan kencang, dia menawarkan buku yang dipegangnya (yang tadi dibaca olehnya). Gue sampaikan bahwa gue tidak perlu buku tersebut, namun dia memaksa gue untuk menerima buku dari tangannya, dan gue gak mau. Perasaan gue mulai gak enak. Tiba-tiba omongan Cewek Stres jadi ngawur, kira-kira dia bilang begini, "Ambil buku ini. Buku ini bagus. Ayo ambil! Tapi setelah ini kita sama-sama menghadap polisi. Tidak perlu sms-sms.". Gue tetap menolak dan mempertahankan pandangan ke BB dengan perasaan gak karuan. Karena gue tidak menggubris dia, tiba-tiba dia melakukan 'aksi nekat', dia memukul gue dengan bukunya. Kontan saja seisi mikrolet mengarah ke arah gue (kecuali si Masker yang tetap 'buang muka'). Gue kaget dan langsung menyimpan BB ke dalam tas. Lalu sambil memerhatikan ocehan Cewek Stres gue noleh dengan wajah ketakutan ke arah Pak Tua, gue bilang dengan lirih. "Saya gak kenal." Pak Tua pun memberi isyarat agar gue tenang, dan menganggap Cewek Stres memang tidak waras.Dalam omongan ngalor-ngidulnya, Cewek Stres bilang seperti ini, "Saya tahu kamu, saya bisa baca isi hati kamu. Kamu tidak jahat sesungguhnya." OMG, mimpi apa gue, sekalinya memutuskan pulang naik mikrolet malah menghadapi 'perempuan gila' berpenampilan normal. Why me? Di mikrolet itu ada enam orang lainnya termasuk Pak Supir, tapi kenapa harus gue yang jadi korban si Cewek Stres. Gue baru perhatikan ternyata isi tas Cewek Stres sangat penuh, selain itu ada kantong kresek yang isinya seperti botol-botol minuman plastik di sebelahnya, sepertinya milik dia.

Seisi mikrolet berjaga-jaga, si Ibu Oriental matanya mengawasi, si Pak Pojok malah menyuruh gue segera turun, padahal sedang macet-macetnya arah Jatinegara dan di lajur tengah. Pak Tua bertanya, "Kamu turun dimana?", gue jawab "Melayu.". Pak Pojok malah akhirnya pilih pindah duduk ke dekat pintu, dan tiba-tiba turun. Sempat saat macet itu gue berpikir untuk pindah ke depan di sebelah supir, tapi gue takut si Cewek Stres melakukan aksi nekat lainnya dari belakang. Pak Supir pun sudah beberapa kali menaruh telunjuknya dengan posisi miring di dahi untuk mengisyaratkan bahwa Cewek Stres itu gila. Rupanya Pak Tua dan Pak Supir satu suku, sepertinya menggunakan bahasa Sulawesi. Dari penangkapan nalar gue yang mengira-ngira, percakapan mereka mengatakan bahwa Cewek Stres naik dari Kramat Sentiong dan mereka tidak menyangka Cewek Stres itu sinting. Singkat kata Cewek Stres terus ber-koar-koar, dan akhirnya mikrolet sampai di Terminal Kampung Melayu. Segera Pak Tua melakukan penyelamatan, gue dibiarkan turun duluan dan dijaga, lalu si Ibu Oriental, habis itu gue jalan secepat-cepatnya setelah memberi ongkos ke supir dan gak mau menoleh ke belakang - terima kasih Pak Tua. Harusnya gue nyambung sekali lagi naik mikrolet (M-44), tapi gue gak mau bertaruh ketemu si Cewek Stres dan memutuskan langsung lari naik ojek. Kalau sampai kepergok Cewek Stres lagi, bisa-bisa orang yang gak tahu jadi salah paham, nanti dikira pula gue berantem sama perempuan gak waras itu. Pelajarannya: JANGAN LIHAT ORANG DARI PENAMPILAN! PENAMPILAN ORANG NORMAL TIDAK MENANDAKAN  OTAKNYA DALAM KEADAAN NORMAL JUGA.



Baru saja merasa lega lepas dari Cewek Stres, saya tiba di depan rumah gak ada yang membukakan gerbang dan pintu. Pencet bel berkali-kali tidak ada yang keluar dari rumah, telepon ke rumah gak diangkat, coba hubungi ponsel pembantu gak dijawab juga, BBM penghuni rumah gak ada yang nyahut, dan kisah kedua di HYA ini adalah ketika gue turun dari ojek tiba-tiba gerimis. Lama-lama rintik hujan semakin kencang, dan gue pun lari keluar kompleks. Tanpa pikir panjang gue langsung berpikir menuju Apartemen Mediterania untuk menemui Golia. Puji Tuhan, dapat taksi. Tap,i baju gue basah kehujanan. Gue kesal karena ini kesekian kalinya sejak gue gak pegang kunci rumah, pembantu 'hilang' dari rumah tanpa kabar (saat itu ternyata dibawa ke apartemen sama Bang Tondang, sepupu gue), dan panggilan ponsel gak diangkat saat seperti itu, menyebalkan. Pelajarannya: JIKA TIDAK PEGANG KUNCI RUMAH DAN TIDAK MEMBAWA PAYUNG, PASTIKAN AKAN ADA YANG MEMBUKAKAN PINTU SEBELUM PULANG KE RUMAH.


Untungnya (filosofi Jawa yang meng-Indonesia >> untung), gue banyak kenalan dan cukup cerdik, Golia kan sedang tinggal di apartemen yang sama dengan Aan (ini mantan pacarnya Bang Tondang, yang masih berhubungan baik sama gue hehe..). Gue pun segera BBM Aan untuk pinjam baju. Kurang beruntungnya, batre BB gue sudah sekarat. Gue segera minta nomor unit/kamar ke Golia. Eh,, setelah melewati kemacetan Casablanca, persis di depan Kantor Kelurahan Tana Abang taksinya berhenti, agak serem juga, supirnya bilang bannya bocor dan minta waktu untuk ganti ban. Gue minta posisi taksi lebih maju lagi, tapi tetap saja berhenti di sekitar 20 meter dari warung pecal lele di depan. Gue pun pasrah di dalam taksi sambil berjaga-jaga daripada kena sisa-sisa hujan juga dan belum tentu dapat taksi lain, sebelum BB benar-benar mati gue kasih tahu keadaan ke Golia dan minta no taksi yang gue tumpangi untuk dicatat. Jreng, kisah ketiga ini gak kalah horor, soalnya taksi berhenti di tempat gelap dan supirnya buka tutup bagasi dan mengeluarkan alat-alat montir. Gue jadi membayangkan kisah-kisah penumpang taksi yang dirampok, atau tiba-tiba datang pria-pria dengan tampang seram atau di bagasi sudah sembunyi teman si supir yang sekongkol, lengkap dengan baterai BB satu-satunya ponsel yang gue bisa andalkan saat itu sudah 'koma' pula. Ya Puji Tuhan, doa gue dikabulkan dan si supir akhirnya (benar-benar) selesai mengganti ban mobil. Gue sampai di Tower C, tapi ternyata Golia salah kasih no unitnya. Sekali lagi, untung saja si Mbak resepsionisnya baik dan punya charger BB juga mau meminjamkan buat gue. Jadilah gue telepon Lia dari lobby. Habis itu ke unitnya tempat dia menginap, yang ternyata ada tiga temannya yang lain. Selanjutnya ke unitnya Aan dan pakai acara salah tower, numpang mandi dan pinjam baju. Ada kejadian yang bikin gue agak tersipu malu, ternyata pas keluar kamar mandi gue terpaksa mengakui kalau celana yang tampak besar dikasih Aan untuk gue pakai gak bisa gue kancing. Huaaah.. Maklum aja ya kan naik 10 kg :D. Pelajarannya: BATERAI PONSEL JANGAN DIBIARKAN SEKARAT APALAGI KALAU CUMA SATU.


Demikian kisah HYA gue di malam Sabtu. Ada satu lagi sebenarnya, anggap saja ini kisah keempat. Jadi, gue dan Golia memutuskan untuk makan malam sambil ngobrol-ngobrol di Rumah Makan Bakmi Bintang Gading, ini Rumah Makan Ujung Pandang yang berada di kompleks Apartemen. Apalagi karena direkomendasikan Kak Nita (kakaknya Aan) dan katanya ada menu (daging) Babi gue jadi tertarik hehe.. Sebenarnya gue gak punya alergi seafood atau daging Babi, tapi gue alergi dengan makanan yang tidak segar. Mungkin ada olahan dari daging atau seafood yang gua makan kurang segar, atau tidak diolah hingga matang jadinya tiba-tiba mulai dari sekujur muka ke arah tangan gatal-gatal karena alergi. Solusinya, ya gue harus mampir di apotek yang buka 24 jam saat pulang untuk beli obat alergi. Pelajarannya: SEDIAKAN OBAT ALERGI DI TAS ATAU SAKU ANDA SAAT BERPERGIAN!

Comments

Popular Posts