Tahi itu bau, kawan!

“Taeeeeeek!”, “Tai lo!”, umpatan-umpatan seperti ini adalah untuk sesuatu yang dibenci karena bersinonim dengan sesuatu yang jijik atau (bau) busuk. 

Tahi yang dalam bahasa lebih kromo-nya disebut Tinja atau feses, menurut definisi dari Wikipedia adalah produk buangan saluran pencernaan yang dikeluarkan melalui anus atau kloaka. Mengapa bau? Masih menurut Wikipedia, bau khas dari tinja atau feses disebabkan oleh aktivitas bakteri. Bakteri menghasilkan senyawa seperti indole, skatole, dan thiol (senyawa yang mengandung belerang), dan juga gas hidrogen sulfida

Kita harus bersyukur bisa mengeluarkan/membuang tahi dengan proses normal, dengan tanda sedikit sakit perut atau kode yang dikeluarkan melalui hembusan angin ‘beraroma’ sama adalah suatu proses “berak” atau beken juga disebut”beol” atau “ee”, bahasa formal menyebutnya bertele-tela dengan nama “buang air besar” atau BAB. Jangan jijik atau tabu dengan satu bagian dari proses pencernaan di tubuh kita ini. Jika kita mengalami gangguan pencernaan, maka sembelit atau sebaliknya diare akan “menyiksa” kita karena tidak mampu mengeluarkan tahi dengan sempurna. 

Berikut adalah kisah seputar tahi yang mampu menjadi bumerang namun berakhir menjadi tawa. 

Alkisah, pada saat dalam perjalanan dari Kupang ke So’e setelah melewati satu hari tanpa BAB, dan perut dikocok-kocok karena kelak-kelok jalan dan volume angin yang ekstra, akhirnya proses ‘pembuangan' itu terjadi di suatu WC umum memasuki kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). 

Saat mobil yang membawa saya dan teman-teman (Arifa, Arsy, Stefani dan Uchie) berhenti karena sebagian ingin membeli buah-buahan, saya dengan inisiatif sendiri dan dimotivasi rasa ingin buang air kecil dan sedikit mual langsung mencari tahu letak toilet umum yang ternyata ada di seberang perberhentian kami. 


Sayalah yang pertama kali memasuki WC di pinggir jalan itu. Ketika posisi mulai jongkok ternyata hasrat BAB pun terlaksana. Perlu upaya ngeden agak berlebih. Menyadari sudah cukup lama di dalam toilet saya pun menyudahi proses “semedi” dan keluar dan mempersilakan Uchie masuk dengan memberikan informasi aktifitas yang baru saya lakukan di dalam WC. Setelah Uchie keluar, disusul oleh Stefani yang sedikit ragu-ragu awalnya karena Uchie keluar dengan keluhan aroma menusuk yang saya tinggalkan di dalam WC. Arsy, yang ada di antrian berikutnya mengurungkan niat untuk buang air di dalam WC tersebut setelah Stefani keluar dan “meneriakkan” sisa 'siksa' bau tahi yang ada di ruang sempit bernama WC tersebut. “Maaf!”, tak ada maksud menebar aroma busuk namun “panggilan alam” sempat tertahan sehingga pembusukannya semakin menjadi. 

Berikutnya, saya menyambung proses BAB saya lagi. Tiba-tiba proses sakral saya di atas kakus harus diakhiri karena desakan adanya antrian yang ditandai mengetok-ngetok pintu WC dan berusaha membukanya. Saya pun ke luar. Si Bapak sang pelaku ketok dan buka paksa meminta maaf. Saya berlalu mengembalikan maaf itu untuknya dalam hati. Setimpal rasanya bau yang saya tinggal untuknya dengan ketidaksabaran dia.

Sepulangnya ke Jakarta, kamar mandi yang baru saya gunakan untuk BAB pagi digunakan oleh abang saya. Tidak berapa lama terdengar teriakan. “Gila Lia, tai loe bau!”. “Hahahaha…”. Ya begitulah, baru sadar. Kalau saya sudah semakin disadarkan, bahwa ’TAHI itu bau, kawan!’.


Ya, bumerang bau itu menjadi memori dan membuahkan tawa di pertemuan-pertemuan berikutnya dengan teman-teman saya. Padahal kita semua sama-sama memproduksi produk busuk tersebut.

Comments

  1. Lah, emgnya tahinya gak disiram sblm keluar wc? Kalau masih bau gitu brarti emg tajam bener tuh bau busuk si tahi?! :))

    btw, di atas kaskus apa di atas kakus? ;)

    ReplyDelete
  2. Ahahaha.. baru nyadar soal "kaskus' #langsungkoreksi #sebelumdiserangkaskuser *thanks, vira ;)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts